Cara Bemuamalah Dan Bergaul Dengan Teman Yang Beragama Syiah
Masih ada beberapa segelintir kaum muslimin yang belum tahu hakikat agama Syi’ah. Syi’ah adalah agama buatan kaum majusi yang sangat benci terhadap agama Islam Ahlus sunnah. Mereka musuh dalam selimut yang siap menikam, membunuh dan membantai ahlus sunnah, bisa jadi dengan bantuan sekutu mereka Yahudi sebagaimana yang terjadi di Suriah dan Iraq belakangan ini.
Nah, bagaimana jika orang syiah ada di sekitar kita bahkan menjadi teman kita? Mereka mempunyai aqidah sangat benci terhadap ahlus sunnah, mungkin mereka terlihat baik ataupun biasa saja karena mereka mempunyai aqidah “taqiyyah” alias berbohong yang dapat pahala menurut mereka.
Oleh karena itu imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata,
لَمْ أَرَ أَحَدًا أَشْهَدَ بِالزُّورِ مِنَ الرَّافِضَةِ
“Aku tidak melihat seorangpun yang paling bersaksi dusta lebih dari para (Syi’ah) rafidhah” [1]
Bukan tidak mungkin jika suatu saat Syi’ah (misalnya di Indonesia) berkembang dan mulai dominan, maka mereka akan menyerang ahlus sunnah dan membantai habis. Karena mereka berkeyakinan bahwa ahlus sunnah itu kafir dan harus dibunuh. Sebagaimana aqidah mereka terhadap kafirnya para Sahabat yang sudah dijamin masuk surga seperi Abu Bakar dan Umar radhiallahu anhuma. Aqidah mereka tergambar dalam buku rujukan utama agama Syi’ah.
عَنْ أَبِي جَعْفَرٍ ( عليه السلام ) قَالَ كَانَ النَّاسُ أَهْلَ رِدَّةٍ بَعْدَ النَّبِيِّ ( صلى الله عليه وآله ) إِلَّا ثَلَاثَةً فَقُلْتُ وَ مَنِ الثَّلَاثَةُ فَقَالَ الْمِقْدَادُ بْنُ الْأَسْوَدِ وَ أَبُو ذَرٍّ الْغِفَارِيُّ وَ سَلْمَانُ الْفَارِسِيُّ رَحْمَةُ اللَّهِ وَ بَرَكَاتُهُ عَلَيْهِمْ
Dari Abu Ja’far ‘alaihis-salaam, ia berkata : “Orang-orang (yaitu para shahabatmenjadi murtad sepeninggal Nabi shallallaahu ‘alaihi wa aalihi kecuali tiga orang”. Aku (perawi) berkata : “Siapakah tiga orang tersebut ?”. Abu Ja’far menjawab : “Al-Miqdaad, Abu Dzarr Al-Ghiffaariy, dan Salmaan Al-Faarisiy rahimahullah wa barakaatuhu ‘alaihim…”[2]
Yuusuf Al-Bahraaniy berkata :
إن إطلاق المسلم على الناصب وأنه لا يجوز أخذ ماله من حيث الإسلام خلاف ما عليه الطائفة المحقة سلفا وخلفا من الحكم بكفر الناصب ونجاسته وجواز أخذ ماله بل قتله
“Sesungguhnya pemutlakan muslim terhadap Naashib (baca : Ahlus-Sunnah) bahwasannya tidak diperbolehkan mengambil hartanya dengan sebab Islam (telah melarangnya), maka itu telah menyelisihi apa yang dipahami oleh kelompok yang benar (baca : Syi’ah Raafidlah) baik dulu maupun sekarang (salaf dan khalaf) tentang hukum kafirnya Naashib (ahlus sunnah), kenajisannya, dan diperbolehkannya mengambil hartanya, bahkan membunuhnya”[3]
Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah menjelaskan cara bermuamalah dengan orang Syi’ah.
تنصحهم وتوجههم إلى الخير وتعلمهم أن الـرفض لا يجوز وأن الواجب محبة علي والترضي عنه لكن من دون غلو، لا يقال: إنه يعلم الغيب ولا إنه معصوم ولا يُدعى مع الله ولا يُستغاث به، وهكـذا فاطمة وهكذا الحسن وهكذا الحسين وهكذا جعفر الصادق وغيرهم، تعلّمهم أن هذا هو الواجب، تنصحهم فإذا أصروا على البدعة فعليك أن تهجرهم ولو أنهم معك في العمل تهجرهم ولا ترد عليهم السلام ولا تبدأهم بالسلام.
أما إذا لم يظهروا بدعتهم ووافقوك على الظاهر فحكمهم حكم المنافقين تعاملهم معاملة المنافقين لا حرج، مثل ما عامل النبي صلى الله عليه وسلم المنافقين في المدينة من أظهر الإسلام وكف عن الشر يُعامل معاملة المسلمين وأمره إلى الله في الباطن.
Engkau nasehati dia (temanmu yang syi’ah) dan engkau arahkan kepada kebaikan. Engkau beritahu mereka bahwa rafidhah tidak boleh dan merupakan kewajiban agar mencintai Ali bin Abi Thalib dan ridha akan tetapi tanpa ghuluw (berlebih-lebih menyikapi Ali, ada yang menanggapnya nabi bahkan tuhan, pent). Tidaklah dikatakan bahwa Ali mengetahui hal yang ghaib, dikatakan ma’suum (tidak pernah salah), tidak disembah bersama Allah (syirik) dan tidak dimintai pertolongan. Demikian juga Fatimah, Hasan,Husein, Ja’far As-Shadiq dan lainnya. Engkau ajarkan kepadanya bahwa (aqidah yang benar) ini adalah wajib. Engkau nasehati jika ia terus-menerus berada dalam bid’ah (kesalahan) ini, maka wajib bagi engkau meng-hajr-nya (menjauhinya), walaupun engkau bersamanya dalam sebuah pekerjaan. Engkau hajr ia, jangan engkau membalas salamnya dan jangan memulai salam.
Adapaun jika mereka tidak menampakan bid’ah mereka dan bersesuaian dengan engkau (mereka ber-taqiyyah, pura-pura sama aqidahnya, pent), maka secara dzahir mereka dihukumi dengan orang munafik, bermuamalah dengan mereka sebagaimana bermuamalah dengan orang munafik, hal ini tidak mengapa. Sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap orang munafik di Madinah yang menampakkan keislaman, tahanlah diri dari menggangu mereka (orang Syi’ah) yang bermuamalah dengan kaum muslimin. Adapun perkara batin mereka kita serahkan kepada Allah.[4]
Mataram-Kota Ibadah
Penyusun: Raehanul Bahraen
Artikel www.muslimafiyah.com
[1] HR. Al-Baihaqi dalam As-Sunan Al-Kubra no 21433
[2] Al-Kaafiy, 8/245; Al-Majlisiy berkata : “hasan atau muwatstsaq”, dikutip dari blog ustadz Abul Jauzaa’ hafidzahullah, sumber: http://abul-jauzaa.blogspot.com/2012/01/syiah-itu-sesat-juragan-sebuah-masukan.html
[3] Al-Hadaaiqun-Naadlirah, 12/323-324 – sumber : shjaffar.jeeran.com, dikutip dari blog ustadz Abul Jauzaa’ hafidzahullah, sumber: http://abul-jauzaa.blogspot.com/2012/01/syiah-itu-sesat-juragan-sebuah-masukan.html
[4] Sumber: http://www.binbaz.org.sa/mat/4173
Artikel asli: https://muslimafiyah.com/1312.html